Kamis, 05 April 2012

Konsep Dasar Jurnalistik

Hasil karya jurnalistik yang baik tidak akan lahir begitu saja, proses panjang akan selalu menyertainya, hingga "pena" sang kuli tinta begitu mantap ditorehkan pada lembaran kertas putih. Banyak karya jurnalistik yang membooming, karena kecerdasan dan improvisasi pemburu disket ini termasuk karya yang bersumber pada “shock news” atau berita kejutan seperti tabrakan kereta api, pesawat jatuh, kebakaran dan lain-lain yang tak pernah terencanakan, namun ada juga karya yang dihasilkan dari perencanaan matang, setelah kuli tinta mencermati sebuah realitas berita.

Setiap karya jurnalistik yang beredar di khalayak, selalu didasari oleh tujuan tertentu, yang hal itu telah terumuskan dalam perencanaan kerja jurnalistik. Di antara tujuan karya tersebut adalah sebagai pembentuk opini atau pendapat masyarakat, media massa mempengaruhi pikiran mayarakat secara cepat dan merata. Berita atau tulisan-tulisan di surat kabar atau majalah bahkan dianggap oleh masyarakat memiliki kebenaran absolut dan final. Berita atau tulisan di surat kabar sering dijadikan acuan masyarakat untuk menentukan pilihan.

Banyak contoh yang mengungkapkan betapa tulisan di surat kabar atau di media elektronik dianggap sudah pasti benar, seperti berita tentang hasil penelitian seorang ilmuwan yang mengungkap fenomena yang berkembang di masyarakat, misalnya kasus mahasiswa di yogyakarta yang sekian persen pernah melakukan hubungan seksual dan lain-lain, cukup mempengaruhi masyarakat begitu rupa sehingga terbentuk opini. Dengan kata lain karya jurnalistik yang dihasilkan oleh wartawan hingga saat ini memiliki kekuatan dalam mempengaruhi pikiran bahkan keputusan yang hendak diambil oleh masyarakat baik secara personal maupun kelembagaan.

Untuk dapat menghasilkan karya jurnalistik yang cukup apik dan memiliki daya pengaruh yang begitu kuat, perlu persyaratan yang harus diketahui dan dipenuhi oleh mereka yang memproduksi karya jurnalistik. Dan di dalam karya tulisan ini akan dijelaskan secara gamblang tentang jurnalistik, baik sebagai ilmu, karya maupun aktivitas.

A. Pengertian dan Fungsi Jurnalistik

Menilik dari asal kata, Jurnalistik berasal dari kata diurnal (latin) artinya harian atau setiap hari atau dari kata du jour (Perancis), yang berarti hari (Effendi, 1993 :95), sedangkan kata journal berarti catatan harian, yang biasanya berisi hal-hal yang penting dan menarik (Wahyudi, 1996 :1)

Dengan mengacu asal makna kata tersebut, banyak pakar dan praktisi jurnalistik kemudian mengajukan beberapa pengertian jurnalistik.

1. Adinegoro dalam bukunya Publisistik dan Jurnalistik menyatakan bahwa jurnalistik adalah keterampilan seseorang untuk mencari, mengumpulkan, mengolah berita, dan menyajikan secepatnya pada khalayak (Adinegoro, 1961).

2. Onong Uchyana Effendy menyatakan bahwa jurnalistik merupakan teknik mengelola berita mulai dari mendapatkan bahan sampai kepada menyebarkanluaskannya kepada khalayak (Effendy : 1993 :95)

3. M. Djen Amar menyatakan bahwa jurnalistik merupakan usaha memproduksi kata-kata dan gambar-gambar yang dihubungkan dengan proses transfer ide/gagasan dengan bentuk suara.

4. Dalam Ilmu publisistik dijelaskan bahwa jurnalistik merupakan salah satu bentuk publisistik / komunikasi yang menyiarkan berita atau ulasan berita tentang peristiwa-peristiwa sehari-hari yang umum dan actual dengan secepat-cepatnya.

5. Suf Kasman menyatakan bahwa jurnalistik adalah suatu kepandaian untuk menuliskan hal-hal yang baru terjadi dengan cara menaruh perhatian dengan maksud agar diketahui orang sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya.

6. JB. Wahyudi melihat pengertian Jurnalistik dari 3 (tiga) sisi, yakni ; sisi ilmu, proses dan karya. (Wahyudi, 1996 :1)

Pertama, Dari sisi ilmu Jurnalistik dipandang sebagai salah satu ilmu terapan (applied sciences) dari ilmu komunikasi, yang mempelajari keterampilan seseorang dalam mencari, mengumpulkan, menyeleksi dan mengolah informasi yang mengandung nilai berita menjadi karya jur:nalistik, sertamenyajika kepada khalayak, melalui media massa periodic, baik cetak maupun eletronik.

Kedua, Dari Proses Jurnalistik adalah setiap kegiatan mencari, mengumpulkan, menyeleksi, dan mengolah informasi yang mengandung nilai berita, serta menyajikan kepada khalayak melalui media massa baik cetak maupun elektronik.

Ketiga, Dari sisi Karya Jurnalistik adalah uraian fakta dan atau pendapat yang mengandung nilai berita, dan penjelasan masalah hangat yang sudah disajikan kepada khalayak melalui media masssa periodic baik cetak maupun elektronik.

Berangkat dari pengertian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa jurnalistik merupakan sebuah proses kerja informasi yang menghasilkan karya informasi, di mana proses tersebut secara rinci merupakan proses pencarian, pengumpulan, penyeleksian dan pengolahan informasi yang mengandung nilai berita menjadi karya jurnalistik, dan penyajiannya kepada khalayak melalui media massa periodic cetak maupun elektronik memerlukan keahlian, kejelian dan keterampilan tersendiri, yaitu keterampilan jurnalistik. Penerapan keterampilan jurnalistik harus dilandasi oleh prinsip yang mengutamakan kecepatan, ketepatan, kebenaran, kejujuran, keadilan, keseimbangan dan tidak berprasangka.

Karena itu pula Luwi Ishwara (2005) menyatakan bahwa Jurnalistik atau jurnalisme, selalu memiliki ciri-ciri yang khas, antara lain

a. Skeptis, yaitu adalah sikap untuk selalu mempertanyakan segala sesuatu, meragukan apa yang diterima, dan mewaspadai segala kepastian agar tidak mudah tertipu. Inti dari skeptis adalah keraguan. Media janganlah puas dengan permukaan sebuah peristiwa serta enggan untuk mengingatkan kekurangan yang ada di dalam masyarakat. Wartawan haruslah terjun ke lapangan, berjuang, serta menggali hal-hal yang eksklusif.

b. Bertindak (action) ,yaitu wartawan tidak menunggu sampai peristiwa itu muncul, tetapi ia akan mencari dan mengamati dengan ketajaman naluri seorang wartawan.

c. Berubah, yaitu perubahan merupakan hukum utama jurnalisme. Media bukan lagi sebagai penyalur informasi, tapi fasilitator, penyaring dan pemberi makna dari sebuah informasi.

d. Seni dan Profesi, yaitu wartawan melihat dengan mata yang segar pada setiap peristiwa untuk menangkap aspek-aspek yang unik.

e. Peran Pers, yaitu pers sebagai pelapor, bertindak sebagai mata dan telinga publik, melaporkan peristiwa-peristiwa di luar pengetahuan masyarakat dengan netral dan tanpa prasangka. Selain itu, pers juga harus berperan sebagai interpreter, wakil publik, peran jaga, dan pembuat kebijaksanaan serta advokasi.

Satu hal yang perlu diperhatikan oleh pelaksana jurnalistik adalah media massa yang merupakan sarana untuk penuangan karya. Artinya perlu bagi pelaksana jurnalistik memahami karakter masing-masing media massa yang hendak digunakan. Dalam kaitan itu pula kemudian Baswichwith (1946) sebagaimana diungkapkan Onong Uhyana Effendy (1993) dan JB Wahyudi (1996) memberikan sebuah pandangan tentang media massa yang hendak digunakan haruslah memenuhi beberapa criteria, yaitu :

a. Publisitas

Yang dimaksud dengan publisitas (publicity) ialah penyebaran kepada publik atau khalayak. Karena diperuntukkan khalayak, maka sifat dari karya jurnalistik adalah umum. Isi karya jurnalistik terdiri dari berbagai hal yang erat kaitannya dengan kepentingan umum.

b. Universalitas

Yang dimaksud dengan universalitas (universality) ialah kesemestaan isinya, aneka ragam dan dari seluruh dunia.

c. Periodesitas

Merupakan keteraturan terbit dan tersiarnya sebuah karya jurnalistik dalam bentuk harian, mingguan atau lainnya, sepanjang ada konsistensi dalam “kemunculannya” di masyarakat

d. Kontinyuitas

Artinya karya yang dihasilkan dan kemudian disajikan lewat media massa tersebut haruslah bekesinambungan, sampai fakta dan pendapat yang mengandung nilai berita itu tidak lagi dinilai penting atau menarik oleh sebagaian besar khalayak.

e. Aktualitas

Aktualitas (actuality) berarti isi pesan yang disampaikan harus memenuhi nilai “kebaruan” dan keadaan sebenarnya.

Kembali kepada kekuatan daya pengaruh yang dimiliki oleh karya jurnalistik dalam mempengaruhi khalayak, Onong Uchyana Effendi menyatakan bahwa daya kekuatan itu memiliki relevansi dengan keberadaan pers yang sedari awal memiliki beberapa fungsi, antara lain :

a. Fungsi menyiarkan informasi (to inform)

pers memberikan “segepok” informasi mengenai suatu peristiwa yang sedang terjadi, dan informasi tersebut teramat dibutuhkan oleh khalayak. Dengan demikian melalui karya jurnalistik, pers menyampaikan serangkaian gagasan, pikiran, pendapat atau fakta kepada khalayak sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya masing-masing.

b. Fungsi mendidik ( to educate)

Fungsi ini dapat diartikan bahwa pers hakekatnya merupakan sarana pendidikan massa, di mana karya jurnalistik yang memuat tulisan ataupun produk citra bergerak lainnya yang mengandung pengetahuan, sehingga khalayak penikmat bertambah pengetahuannya. Fungsi mendidik ini secara implicit dapat berupa berita, secara eksplisit berbentuk artikel, ataupun tajuk rencana, ataupun bentuk lainnya.

c. Fungsi Menghibur (to entertaint)

Hal-hal yang bersifat hiburan seringkali ditampilkan dalam setiap karya jurnalistik, apakah yang bersifat cetak ataupun elektronik. Tujuan penampilan itu untuk mengimbangi berita yang sifatnya berat dan artikel-artikel yang berbobot. Adapun bentuk dapat berupa cerita, film, cerita bergambar atau yang lainnya.

d. Fungsi Mempengaruhi. (to Persuate)

Fungsi ini menyebabkan karya jurnalistik memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain melalui pandangan, pikiran, gagasan yang tertuang dalam setiap karya jurnalistik yang dibaca, dilihat dan dinikmati mampu mempengaruhi jalan pemikiran pandangan dan pendapat masyarakat

Filsafat Ilmu Komunikasi

A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, dimana pun dan kapan pun itu pasti memerlukan orang lain untuk berlangsungnya kehidupan. Komunikasi adalah alat untuk berinteraksi antara manusia satu dengan yang lainnya. Manusia dan komunikasi merupakan dua hal yang saling berhubungan, karena tanpa adanya komunikasi menusia tidak mungkin akan bisa berinteraksi dengan manusia lain, baik itu melalui komunikasi verbal maupun non verbal. Dengan kata lain manusia dan komunikasi tak ubahnya seperti pasangan yang tidak bisa dipisahkan karena saling membutuhkan satu sama lain.

Dengan adanya komunikasi, manusia bisa leluasa menumpahkan apa yang ingin mereka lakukan. Misalnya menyelesaikan masalah-masalah antar pribadi dan antar kelompok. Komunikasi merupakan penyambung manusia untuk melakukan semua kegiatannya baik itu kegiatan yang bersifat positif ataupun negative. Apa jadinya jika dalam hidup ini tidak ada komunkasi? Dan apa jadinya jika dalam hidup ini tidak ada manusia? Jika salah satu dari keduanya tidak ada mungkin kehidupan ini pun tidak akan pernah ada. Jadi hubungan komunikasi dan manusia sangat erat, tidak mungkin keduanya terpisahkan karena saling ketergantungan.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :

a. Bagaimana hubungan teori dan filsafat ilmu?

b. Bagaimana filsafat ilmu dalam filsafat komunikasi?

c. Apakah filsafat komunikasi dan penelitian ilmu komunikasi?

C. Tujuan

Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui hubungan antara teori dan filsafat ilmu, bagaimana filsafat ilmu dalam filsafat komuniksai serta mengetahui apa filsafat komuniksi dan penelitian ilmu komunikasi itu.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Teori

Teori adalah sarana pokok untuk menyatakan hubungan sistematik dalam gejala sosial maupun natural yang dijadikan pencermatan. Teori merupakan abstarksi dari pengertian atau hubungan dari proposisi atau dalil.

Menurut Kerlinger [1973] teori dinyatakan sebagai sebuah set dari proposisi yang mengandung suatu pandangan sistematis dari fenomena.

Terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan dalam mencermati lebih jauh mengenai teori, yakni :

1. Teori adalah sebuah set proposisi yang terdiri dari konstrak [construct] yang sudah didefinisikan secara luas dan dengan hubungan unsur-unsur dalam set tersebut secara jelas

2. Teori menjelaskan hubungan antar variable atau antar konstrak sehingga pandangan yang sistematik dari fenomena fenomena yang diterangkan oleh variable dengan jelas kelihatan

3. Teori menerangkan fenomena dengan cara menspesifikasi variable satu berhubungan dengan variable yang lain.

B. Pengertian Filasafat Ilmu

Untuk memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini dikemukakan pengertian filsafat ilmu dari beberapa ahli yang terangkum dalam Filsafat Ilmu, yang disusun oleh Ismaun (2001)

Ø Robert Ackerman

Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.

Ø Lewis White Beck

Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan.

Ø A. Cornelius Benjamin

Cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan intelektual.

Ø Michael V. Berry

Penelaahan tentang logika interen dari teori-teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah.

Ø May Brodbeck

Analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu.

Ø Peter Caws

Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat, yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua macam hal : di satu pihak, ini membangun teori-teori tentang manusia dan alam semesta, dan menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan tindakan; di lain pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri, dengan harapan pada penghapusan ketakajegan dan kesalahan.

Ø Stephen R. Toulmin

Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mencoba pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah prosedur-prosedur pengamatan, ola-pola perbinacangan, metode-metode penggantian dan perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai landasan-landasan bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi praktis, dan metafisika.

C. Hubungan Teori dan Filsafat Ilmu

Telaah tentang substansi Filsafat Ilmu, Ismaun (2001) memaparkannya dalam empat bagian, yaitu substansi yang berkenaan dengan: (1) fakta atau kenyataan, (2) kebenaran (truth), (3) konfirmasi dan (4) logika inferensi. Dan disini kami akan membahas lebih detail tentang hubungan teoti dengan fakta yaitu :

o Teori memprediksi fakta :

Penyingkatan fakta-fakta yang dilakukan oleh teori akan menghasilkan uniformitas dari pengamatan-pengamatan. Dengan adanya uniformitas maka dapat dibuat prediksi [ramalan] terhadap fakta-fakta yang akan datang dengan kata lain bahwa sebuah fakta baru akan lahir berdasarkan pengamatan fenomena-fenomena sekarang/saat ini.

o Teori memperkecil jangkauan:

Fungsi utama dari teori adalah memberikan batasan terhadap ilmu dengan cara memperkecil jangkauan [range] dari fakta yang sedang dipelajari. Dalam dunia empiri banyak fenomena yang dapat dijadikan bahan pencermatan namun untuk pendalaman dan penajaman tertentu diperlukan batasan, sehingga teori berperan membatasi dalam lingkup [aspek] tertentu.

o Teori meringkas fakta :

Teori melakukan perannya meringkas hasil penelitian. Melalui sebuah teori generalisasi terhadap hasil penelitian mudah dilakukan. Teori dengan mudah memberikan kemampuannya dalam memandu generalisasi-generalaisasi, bahkan teori mampu meringkas hubungan antar generalisasi.

o Teori memperjelas celah kosong:

Dengan kemampuannya meringkas fakta – fakta saat ini dan melakukan prediksi, maka teori dapat memberikan petunjuk dan memperjelas kawasan mana yang belum dijangkau ilmu pengetahuan.

o Fakta memprakarsai teori :

Terdapat berbagai fakta yang kita dijumpai secara empiri yang mampu melahirkan sebuah teori baru, karena secara tidak langsung fakta sebagai muara terciptanya sebuah teori.

o Fakta memformulasikan kembali teori yang ada.

Tidak semua fakta mampu dijadikan teori, tetapi fakta dari hasil pengamatan dapat membuat teori lama menjadi teori baru /dikembangkan menjadi teori baru. Teori harus disesuaikan dengan fakta dengan demikian fakta dapat mengadakan reformulasi terhadap teori.

o Fakta dapat menolak teori :

Jika banyak diperoleh fakta yang menujukkan sebuah teori tidak dapat diformulasikan maka fakta berhak menolak teori tersebut.

o Fakta memberi jalan mengubah teori :

Fakta mampu memperjelas teori dan mengajak seseorang untuk mengubah orientasi teori. Dengan hadirnya orientasi baru dari teori akan bersekuensi logis pada penemuan fakta-fakta baru.

D. Filsafat Ilmu Dalam Filsafat Komunikasi

v Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi

Para ahli sepakat bahwa landasan ilmu komunikasi yang pertama adalah filsafat. Filsafat melandasi ilmu komunikasi dari domain ethos, pathos, dan logos dari teori Aristoteles dan Plato. Ethos merupakan komponen filsafat yang mengajarkan ilmuwan tentang pentingnya rambu-rambu normatif dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang kemudian menjadi kunci utama bagi hubungan antara ilmu dan masyarakat. Pathos merupakan komponen filsafat yang menyangkut aspek emosi atau rasa yang ada dalam diri manusia sebagai makhluk yang senantiasa mencintai keindahan, penghargaan, yang dengan ini manusia berpeluang untuk melakukan improvisasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Logos merupakan komponen filsafat yang membimbing para ilmuwan untuk mengambil suatu keputusan berdasarkan pada pemikiran yang bersifat nalar dan rasional, yang dicirikan oleh argument-argumen yang logis.

Komponen yang lain dari filsafat adalah komponen piker, yang terdiri dari etika, logika, dan estetika, Komponen ini bersinegri dengan aspek kajian ontologi (keapaan), epistemologi (kebagaimanaan), dan aksiologi (kegunaan atau kemanfaatan).

Pada dasarnya filsafat komunikasi memberikan pengetahuan tentang kedudukan Ilmu Komunikasi dari perspektif epistemology:

a. Ontologis: What It Is?

Ontologi berarti studi tentang arti “ada” dan “berada”, tentang cirri-ciri esensial dari yang ada dalam dirinya sendiri, menurut bentuknya yang paling abstrak (Suparlan: 2005). Ontolgi sendiri berarti memahami hakikat jenis ilmu pengetahuan itu sendiri yang dalam hal ini adalah Ilmu Komunikasi.

Ilmu komunikasi dipahami melalui objek materi dan objek formal. Secara ontologism, Ilmu komunikasi sebagai objek materi dipahami sebagai sesuatu yang monoteistik pada tingkat yang paling abstrak atau yang paling tinggi sebagai sebuah kesatuan dan kesamaan sebagai makhluk atau benda. Sementara objek forma melihat Ilmu Komunikasi sebagai suatu sudut pandang (point of view), yang selanjutnya menentukan ruang lingkup studi itu sendiri.

Contoh relevan aspek ontologis Ilmu Komunikasi adalah sejarah ilmu Komunikasi, Founding Father, Teori Komunikasi, Tradisi Ilmu Komunikasi, Komunikasi Manusia, dll.

b. Epistemologis: How To Get?

Hakikat pribadi ilmu (Komunikasi) yaitu berkaitan dengan pengetahuan mengenai pengetahuan ilmu (Komunikasi) sendiri atau Theory of Knowledge. Persoalan utama epsitemologis Ilmu Komunikasi adalah mengenai persoalan apa yang dapat ita ketahui dan bagaimana cara mengetahuinya, “what can we know, and how do we know it?” (Lacey: 1976). Menurut Lacey, hal-hal yang terkait meliputi “belief, understanding, reson, judgement, sensation, imagination, supposing, guesting, learning, and forgetting”.

Secara sederhana sebetulnya perdebatan mengenai epistemology Ilmu Komunikasi sudah sejak kemunculan Komunikasi sebagai ilmu. Perdebatan apakah Ilmu Komunikasi adalah sebuah ilmu atau bukan sangat erat kaitannya dengan bagaimana proses penetapan suatu bidang menjadi sebuah ilmu. Dilihat sejarahnya, maka Ilmu Komunikasi dikatakan sebagai ilmu tidak terlepas dari ilmu-ilmu social yang terlebih dahulu ada. pengaruh Sosiologi dan Psikologi sangat berkontribusi atas lahirnya ilmu ini. Bahkan nama-nama seperti Laswell, Schramm, Hovland, Freud, sangat besar pengaruhnya atas perkembangan keilmuan Komunikasi. Dan memang, Komunikasi ditelaah lebih jauh menjadi sebuah ilmu baru oada abad ke-19 di daratan Amerika yang sangat erat kaitannya dengan aspek aksiologis ilmu ini sendiri.

Contoh konkret epistemologis dalam Ilmu Komunikasi dapat dilihat dari proses perkembangan kajian keilmuan Komunikasi di Amerika (Lihat History of Communication, Griffin: 2002). Kajian Komunikasi yang dipelajari untuk kepentingan manusia pada masa peperangan semakin meneguhkan Komunikasi menjadi sebuah ilmu.

c. Aksiologis: What For?

Hakikat individual ilmu pengetahuan yang bersitaf etik terkait aspek kebermanfaat ilmu itu sendiri. Seperti yang telah disinggung pada aspek epistemologis bahwa aspek aksiologis sangat terkait dengan tujuan pragmatic filosofis yaitu azas kebermanfaatan dengan tujuan kepentingan manusia itu sendiri. Perkembangan ilmu Komunikasi erat kaitannya dengan kebutuhan manusia akan komunikasi.

Kebutuhan memengaruhi (persuasive), retoris (public speaking), spreading of information, propaganda, adalah sebagian kecil dari manfaat Ilmu Komunikasi. Secara pragmatis, aspek aksiologis dari Ilmu Komunikasi terjawab seiring perkembangan kebutuhan manusia.

E. Filsafat Komunikasi Dan Penelitian Ilmu Komunikasi

Filsafat Komunikasi sangat erat kaitannya dengan metodologi penelitian : Positive, Post-Positive dan Kritis. Kesemuanya harus jelas sumber dan asumsi-asumsinya.

Metode (metodologi) ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Metodologi ini secara filsafati termasuk dalam apa yang dinamakan epistemologi. Epistemologi membahas mengenai: Apakah sumber pengetahuan? Apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan? Sejauh mana manusia mampu menangkap pengetahuan? (Jujun S. Suriasumantri, 1984: 119)

Melalui filsafat komunikasi, dari komponen epistemologi, kita telah mengenal sejumlah metode dan model penelitian komunikasi selain teori-teori yang dilahirkan secara ontologis. Metode-metode tersebut dapat dipahami dengan menyimak tiga kelompok paham yang mengembangkan komunikasi secara falsafati.

Positive(isme)

Asumsi dasar positivisme tentang realitas adalah tunggal, dalam artian bahwa fenomena alam dan tingkah laku manusia itu terikat oleh tertib hukum. Fokus kajian-kajian positivis adalah peristiwa sebab-akibat (Deddy Mulyana, 2001: 25). Dalam hal ini, positivisme menyebutkan, hanya ada dua jalan untuk mengetahui: pertama, verifikasi langsung melalui data pengindera (empirikal); dan kedua, penemuan lewat logika (rasional).

Pendekatan metodologi yang positivis antara lain: empirisme, rasionalisme, behavioristik, behavioral, struktural, fungsionalisme, mekanistik, deterministik, reduksionis, sistemik, dan lain-lain. Para penggagas dan pengasuh metode positive ini antara lain Paul F. Lazarsfeld, Bernard Berelson, Robert K. Merton, Wilbur Schramm, Shannon dan Weaver, dan lain-lain. Mereka-mereka itulah yang komunitasnya dikenal dengan nama Mazhab Chicago.

Metode peneltian komunikasi yang tercakup dalam paham antara lain: model mekanistis, model komunikasi Shannon dan Weaver, pendekatan behaviorisme, analisis isi klasik-kuantitatif, dan lain-lain.

Komponen-komponen pokok teori dan metodologi positivis adalah sebagai berikut:

o Metode penelitian: kuantitatif

o Sifat metode positivisme adalah obyektif.

o Penalaran: deduktif.

o Hipotetik

Post-Positifisme [humanistik]

Asumsi dasar post-positivie tentang realitas adalah jamak individual. Hal itu berarti bahwa realitas (perilaku manusia) tindak tunggal melainkan hanya bisa menjelaskan dirinya sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan. Fokus kajian post-positivis adalah tindakan-tindakan (actions) manusia sebagai ekspresi dari sebuah keputusan.

Pendekatan metodologi penelitian kualitatif: interaksionisme simbolik, fenomenologi, etnometodologi, dramaturgi, hermeneutika, semiotika, teori feminisme, marxisme sartrian, teori kritis, pasca-strukturalisme, dekonstruktivisme, teori paska-kolonialis, dan sebagainya (Deddy Mulyana dalam Eriyanto, 2002: IV). Aliran pemahanan ini berasal dari sejumlah ilmuan, antara lain: Max Weber, Charles Horton Cooley, George Hebert Mead, William I. Thomas, Ervin Goffman, dan lain-lain.

Metode penelitian komunikasi yang tercakup dalam paham antara lain interaksionisme simbolik, analisis framing, analisis wacana, analisis semiotika, dan lain-lain.

Komponen-komponen pokok teori dan metodologi post-positivis adalah sebagai berikut:

o Metode penelitian: kualitatif

o Sifat metode post-positive: Subyektif

o Penalaran: Induktif.

o Interpretatif

Kritisme

Asumsi dasar paham kritisme adalah realitas didominasi oleh status quo. Maksdunya adalah, tidak ada aspek kehidupan yang bebas dari kepentingan, termasuk ilmu pengetahuan. Kesemuanya berada dalam dominasi status quo. Aliran pemahaman kritis diinspirasi oleh pemikiran Karl Marx. Namun paham kritisme ini hanya sedikit berbicara tentang Marxisme (Sasa Djuarsa S., 1994: 392-396). Faham kritisme merupakan merupakan pilar utama mazhab frankfurt. Selanjutnya ditindaklanjuti oleh Juergen Habermas (John B. Thompson, 2004: 487). Fokus kajian mazhab Frankfurt ini adalah sistem tindakan komunikasi manusia (teori tindakan komunikasi).

Tokoh aliran ini antara lain: Max Horkheimer, Theodore Adorno, Hebert Markuz, Juergen Habermas, dan lain-lain.

Metode penelitian dalam paham ini belum populer penggunaannya dalam penelitian komunikasi. Seperti dikemukakan oleh Habermas sendiri, diskusi tentang metode dan teori tindakan komunikasi adalah proses yang tidak pernah berakhir dan sama sekali belum sampai pada suatu konsensus (Juergen Habermas, 2004: vii).

Metode Penelitian : Analisis Sejarah Sosial (Social History Analysis)

o Sifat metodologi: kritis

o Penalaran: Dialektika

o Meta-theoritical Discourse

BAB III

KESIMPULAN

Dari pemaparan makalah diatas bisa diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Teori adalah sarana pokok untuk menyatakan hubungan sistematik dalam gejala sosial maupun natural yang dijadikan pencermatan.

2. Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.

3. Hubungan dengan fakta :

· Teori memprediksi fakta

· Teori memperkecil jangkauan

· Teori meringkas fakta

· Teori memperjelas celah kosong

· Fakta memprakarsai teori

· Fakta memformulasikan kembali teori yang ada

· Fakta dapat menolak teori

· Fakta memberi jalan mengubah teori

4. Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi

Pada dasarnya filsafat komunikasi memberikan pengetahuan tentang kedudukan Ilmu Komunikasi dari perspektif epistemology yang terdiri dari:

o Ontologis: What It Is?

o Epistemologis: How To Get?

o Aksiologis: What For?

5. Filsafat Komunikasi Dan Penelitian Ilmu Komunikasi

Filsafat Komunikasi sangat erat kaitannya dengan metodologi penelitian yaitu:

· Positive

· Post-Positive

· Kritis

DAFTAR PUSTAKA

Suhartono, Suparlan. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Ar Ruzz. 2005.

Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung. Remaja Rosdakarya.2001.

Effendy, Onong Uchyana. Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek. Bandung. Remaja Rosdakarya. 1994.

Cangara, Hafied. Pengantar Ilmu Komunikasi. Edisi Revisi. Jakarta. Raja Grafindo Persada. 2008.

Salam, Burhanuddin .Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi . Jakarta .Reneka Cipta .1993